Tersesat di Tengah Peribadatan Umat


Jam menunjukkan pukul 18.00. seorang kawan dari Surabaya,Kia, sudah tiba di lokasi festival lampion sejak sore. Saya pun segera mengabari kawan saya yang lain,Rizky, untuk segera masuk ke area Candi karena acara akan segera dimulai.

Akhirnya tidak lama berselang saya tiba di kompleks candi borobudur. Motor saya parkir di depan area candi agar mudah mencarinya saat pulang nanti malam.

Satu hal yang tidak terfikirkan, bagaimana caranya masuk ke dalam area festival lampion? Jujur hal tersebut belum ada di pikiran. Rizky rupanya sama, belum memikirkannya juga. Pasalnya pintu yang kami tuju mewajibkan semua yang masuk memakai co-card yang didapatkan saat membeli tiket. Co card saya ada di Kia yang sudah ada di area dalam candi. Waduh! Apakah pupus harapan untuk mengikuti salah satu festival yang sudah lama masuk ke to do list saya? Rasanya putus asa sekali malam itu.

Tiba-tiba ada rombongan yang hendak keluar dari area candi borobudur. Wajah mereka nampak lelah seperti habis lama beraktivitas. Rizky mengobrol sedikit dengan salah satu dari mereka. Entah apa yang mereka obrolkan akhirnya salah seorang dari mereka memberikan co-cardnya kepada kami. Akhirnya..semangat untuk mengikuti festival kembali menyala.

Kami bergegas mendekat ke pintu penjaga dengan wajah sumringah. Co-card kami tunjukkan penjaga dan mereka langsung mempersilahkan kami masuk.

Tugas selanjutnya dalam mengikuti event ini adalah menemukan Kia yang sudah ada di dalam area festival lampion.

“Halo Kia, sebelah mana? aku di sebelah tenda besar dekat pintu masuk.”

“Iya aku di dekat barisan orang-orang. Ini sudah mau dinyalakan lampionnya, cepat ke sini ya.”

Arahan singkat dari obrolan di telfon membuat saya berjalan menuju kerumunan dengan kepercayaan diri tinggi. Ribuan orang berkumpul di hadapan candi yang sudah berdiri sejak ribuan tahun tersebut dan saya harus mencari satu orang di antaranya. Sungguh tugas yang berat sekali.

Peluh keringat merembes ke jilbab yang saya kenakan. Padahal Magelang ini termasuk area dataran tinggi tapi setelah berjalan kaki dengan tergesa karena takut ketinggalan event penerbangan lampion saya harus rela bermandikan keringat.

Mata saya picingkan berharap ada keajaiban Kia muncul di tengah kerumunan ribuan orang yang datang namun sepertinya hal tersebut sia-sia.

Akhirnya saya menuruti ide Rizky yang sudah membantu menyelamatkan saya agar bisa masuk ke area candi borobudur untuk mengikutinya menuju area utama event festival ini. Ia meyakinkan tempat yang dituju dengan menunjuk area menjauhi kerumunan ribuan manusia ini. Saya percaya saja karena ia sudah pernah datang ke festival ini tahun sebelumnya.

Peluh keringat tak terhiraukan lagi dan kali ini saya langsung membuntutinya di belakang. Suasana berbeda terasa saat berjalan menjauhi kerumunan ribuan orang tadi. Udara dingin mulai masuk ke badan. Sesaat yang menyegarkan.

Area yang Rizky maksud sudah dekat. Saya memastikan co-card pemberian orang asing tadi masih ada di jilbab yang sudah saya tancapkan dengan peniti.

Untuk mencapai tempat yang dimaksud Rizky kami harus antre. Tidak ada curiga saat akan masuk karena badan sudah lelah berjalan jadi saya percaya saja dengan kawan lama satu ini. Saya sudah tahu sepak terjangnya di bidang pariwisata dan tidak akan meremehkannya.

Petugas yang berjaga di antrean masuk mempersilahkan sesaat setelah melihat co-card kami.

Di depan saya sudah banyak sekali orang duduk bersila. Mereka nampak khusyuk bersiap menunggu sesuatu. Di depan orang-orang yang bersila tadi ada meja besar dan beberapa biksu duduk di bawahnya. Cahaya temaram dari lampu di Borobudur menambah kekhidmatan acara.

Stupa Borobudur nampak megah di tengah kegelapan


Rizky mengajak saya duduk di tengah barisan. Suasana di kerumunan orang yang duduk ini berbeda sekali dengan suasana di kerumunan sebelumnya. Saya menoleh ke kanan dan nampak ibu paruh baya bersama keluarganya tengah khusyuk berdoa. Di sisi lain saya melihat ada tulisan rombongan dari Tanjungpinang duduk berkelompok.

Kamera saya keluarkan dari tas dan segera mengambil beberapa gambar suasana di sekitar. Lampu di sekitar area ini cukup baik sehingga flash tidak pernah saya gunakan. Meskipun dalam beberapa case saya membutuhkannya tapi saya takut menganggu sekitar.  

Tiba-tiba microphone dinyalakan dan MC memberikan tanda bahwa acara segera dimulai. Lampu menyorot ke area panggung lain yang nampak beberapa orang bersiap di sana.

Saya menurunkan kamera dan mengikuti acara yang akan dimulai.

MC memberikan komando untuk menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya sambil berdiri dari tempat duduk. Di sini saya mulai sadar bahwa saya berada di panggung yang salah.

Ternyata ini adalah panggung khusus umat buddha merayakan puncak waisak dan saya berada di tengah-tengah umat. Saya menoleh ke Rizky dan sepertinya dia menangkap sinyal kecemasan dari raut muka saya.

Indonesia tanah airku,

Tanah tumpah darahku,

Di sanalah aku berdiri,

Jadi pandu ibuku.

Suara umat buddha yang menggema mengisi kesunyian area ibadah menggetarkan hati saya. Jujur baru pertama kali ini saya menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia di sebuah tempat suci yang menjadi warisan budaya dunia bersama dengan umat Buddha dari seluruh Indonesia bahkan saya baru tahu ada yang jauh-jauh datang dari negara tetangga.

Indonesia kebangsaanku,

Bangsa dan tanah airku,

Marilah kita berseru,

Indonesia bersatu.

Hiduplah tanahku,

Hiduplah neg'riku,

Bangsaku, Rakyatku, semuanya,

Bangunlah jiwanya,

Bangunlah badannya,

Untuk Indonesia Raya.

 


Momen ini menjadi salah satu momen mengharukan di kehidupan saya.Tidak ada yang melirik sinis ke saya karena saya satu-satunya yang berjilbab di tengah umat buddha dan saya pun tidak diusir untuk menyingkir dari area ibadah yang bagi saya cukup sakral. Perbedaan yang ada dari diri saya mereka terima dan tidak bersungut-sungut mengusir saya.

Memori saya terbang pada sebuah ingatan saat saya duduk di bangku SMA. Saat itu saya menahan kesal dan tangisan karena disindir habis-habisan oleh guru dan seorang murid saat saya merayakan Idul Fitri berbeda hari di dalam kelas. Perbedaan metode perhitungan memang mengakibatkan umat Islam di Indonesia beberapa kali merayakan Hari Raya Idul Fitri berbeda hari. Saya sendiri tidak memandang itu sebagai sesuatu hal yang harus dibesar-besarkan apalagi dibahas di dalam kelas di sebuah SMA Negeri di mana muridnya pasti berasal dari organisasi Islam yang berbeda.

Hari itu saya pulang dengan hati kesal merasa tidak diterima sebagai seseorang yang memiliki perbedaan pendapat dengan umat Islam lainnya. Padahal pemerintah tidak mempermasalahkan hal tersebut namun bagi saya yang masih berumur belasan tahun dan emosi yang belum stabil saya tidak terima dianggap berbeda. Kekesalan tersebut ternyata masih membekas sampai bertahun-tahun.

Mengapa di satu agama yang sama, umat yang memiliki perbedaan pendapat dengan lainnya disindir habis-habisan padahal metode yang digunakan oleh organisasi islam yang dianut tidak menyalahi aturan di agamanya? Namun di sisi lain saat saya benar-benar berada di tengah umat yang berbeda agama malah diterima dan dihormati selayaknya manusia biasa yang hidup dalam satu negara yang sama.

Bukankah menyenangkan saat kita hidup bersama dan dipandang sebagai seorang manusia utuh yang memiliki hak yang sama di sebuah negara terlepas dari identitas-identias agama yang melekat di dirinya? Karena jauh sebagai umat beragama kita juga adalah sesama manusia..


Dokumentasi lainnya selama kegiatan berlangsung:

Lampion yang jatuh di tengah kerumunan umat 

Fokus apa ya ini ?

Seorang ibu mendapatkan lampion yang jatuh 

Sawatdee Khrap~


Suasana di tempat publik


Lokasi utama yang seharusnya saya tempati


Menerbangkan lampion bersama

Festival Lampion

Bhikkhu



 *ps : nama sapaan kawan saya samarkan jadi bukan nama asli 

Comments

back to top