Makna Hidup pada Kelopak Kembang Waru




Ragam suku di Indonesia memiliki keunikan dan cerita yang menarik untuk disimak. Sebagai orang yang dilahirkan di salah satu suku di nusantara, banyak sekali makna-makna filosofis kehidupan yang disematkan pada hal-hal yang mudah dijumpai di kehidupan sehari-hari yang baru saya ketahui. Kali ini karena rasa penasaran dan keisengan untuk berkunjung ke Kotagede saya mengarahkan langkah ke sebuah gang kecil di Purbayan. Filosofi dan makna hidup saya temukan pada ragam kuliner khususnya kudapannya.

Seorang lelaki duduk di pintu rumah dengan semangkuk makanan di tangannya. Beliau menyapa sambil mempersilahkan masuk. Mbah Basiran adalah salah seorang pembuat Kembang Waru yang bertahan di Kotagede. Prinsip nguri-uri kabudayaan jawi menjadikannya bertahan untuk membuat kudapan yang sudah ia rintis sejak 1983.

“Pinten mbah?” (Berapa Mbah?)

“Rp 1.700, monggo-monggo.” (Rp 1.700 , silahkan-silahkan)

“Kula angsal mlebet ningali wingking mbah?” (Saya boleh masuk melihat bagian belakang mbah?)

“Monggo mbak liwat pinggir nggih.” (Silahkan mbak lewat samping ya)

Suasana dapur tempat pembuatan Kembang Waru

Selanjutnya saya masuk ke dapur pembuatan kudapan yang berbahan dasar tepung ini. Di sana ada tungku-tungku yang sudah berwarna hitam legam tanda sering digunakan, serta ada cetakan kembang waru yang bertumpuk di samping tungku. Jika dulu kudapan ini dibuat dari telur kampung dan tepung ketan sekarang bahannya dari telur ayam petelur dan tepung terigu.

Kembang Waru

Kembang Waru adalah salah satu kudapan yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram Islam. Biasanya kudapan ini disajikan saat ada perayaan khusus di kerajaan serta suguhan untuk para bangsawan. Seiring bergulirnya zaman kembang waru kini dibuat oleh beberapa orang di Kotagede yang disajikan untuk masyarakat luas tidak hanya di kalangan kerajaan.

Dinamakan Kembang Waru karena dulu saat kejayaan Kerajaan Mataram Islam, keraton dekat dengan Pasar Gedhe* yang banyak ditumbuhi pepohonan waru, belum ada kios-kios masih alami. Pohon waru ini menginspirasi pembuat kue saat  itu untuk membuat kudapan dengan bentuk kembangnya.

“Maknanya tinggi sekali.” Ungkapan Mbah Basiran ketika diwawancari oleh media lokal di Yogyakarta terkait dengan kudapan yang ia buat.

Kembang Karu. Kembangnya ada delapan kelopak. Ada makna berupa nasihat dari pendahulu tentang delapan jalan utama atau Hasto Broto yaitu 8 jalan utama di tiap kelopaknya. Pengibaratan tersebut adalah 8 elemen penting dalam kehidupan yaitu matahari, bulan, bintang, mega (langit), tirta (air), kismo (tanah), samudra, dan maruto (angin).

Masing-masing elemen memiliki makna lebih dalam lagi seperti angin berarti kehidupan, tirta yang bermakna keadilan dan sama rata. Lalu ada mega atau langit yang memiliki letak tertinggi di antara elemen yang lain, maknanya bahwa ada Tuhan yang menitahkan semua.

Saat saya mencicipinya, aroma vanili menyeruak masuk ke hidung. Rasa empuk dan manis paling terasa saat gigitan pertama. Gigitan selanjutnya imaji saya terbang langsung ke masa di mana Pasar Gedhe banyak ditumbuhi Pohon Waru dan saya duduk di bawah salah satu pohonnya sambil menghabiskan kudapan istimewa.



...


*penyebutan pasar gedhe bukan legi terkait degan penjelasan Mbah Basiran di video KR
Lokasi tempat Kembang Waru : 

Comments

Post a Comment

back to top