Ekosistem Laut Terancam oleh Banjir Tumpahan Minyak Mentah Pertamina



pexels.com

Pengeboran, kebocoran, minyak..

Tiga kata yang sering sekali saya lihat berseliweran di sosial media akhir-akhir ini. Seperti sebuah mesin waktu, tiga kata tersebut mengingatkan saya kepada bencana nasional yang terjadi di rumah tempat saya tinggal, Sidoarjo.
..
Tahun 2006 saya ingat waktu itu masih duduk di bangku SMP semester 1. Tiba-tiba saja ada kawan baru yang memperkenalkan diri. Kok baru masuk ya, padahal kan kita sudah lama berkenalan, apakah dia bolos. Pikiran polos bocah memenuhi kepala saya. Ternyata anak baru tersebut adalah korban lumpur lapindo yang pindah sekolah karena sekolahnya tenggelam. Sejujurnya saya yang masih bocah waktu itu tidak terlalu memusingkan dengan bencana yang skalanya sudah nasional terjadi di rumah tempat saya tinggal. Serius, saya se-bodo-amat itu karena mungkin dulu saya memiliki kegiatan lain yang menyita waktu dan perhatian hingga tak begitu mengikuti kasus bencana di tempat saya tinggal. Memori lain yang saya ingat adalah demo yang sering terjadi di Alun-Alun Kabupaten. Tuntutan yang tidak didengar membuat korban lumpur geram dan saya yang menyaksikan dari sisi lain Alun-Alun mematung saja melihatnya. Seringkali bau lumpur yang terbawa angin membuat saya dan teman sekelas waktu kelas 7 lekas menutup hidung dengan jarak SMP dan lokasi bencana sekitar 10-13 km.
Semua memori itu terus melekat pada ingatan saya hingga akhirnya saya membaca telah terjadi kebocoran gas pipa pada salah satu sumur milik Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) yang menyebabkan tumpahnya minyak mentah ke perairan laut Karawang yang telah menyebar hingga Teluk Jakarta. Lalu bagaimana nasib perairan Karawang?  

Saat ini kondisi di Karawang sendiri sudah ada tindakan berupa pembersihan tumpahan minyak mentah tersebut di pantai yang terdiri dari 800 orang serta lebih dari 100 prajurit TNI. Kejadian ini memerlukan waktu setidaknya enam bulan pemulihan.

Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti menyampaikan bahwa salah satu solusi yang harus dipertimbangkan oleh Pertamina adalah penambahan stok “Oil Boom” untuk menghalau tumpahan minyak sampai ke daratan seperti yang telah terjadi saat ini. Logistik seperti Oil Boom memang tidak mudah namun dengan banyaknya kejadian tumpahan minyak seharusnya menjadi catatan dan perhatian tersendiri bagi Pertamina untuk pengadaan tersebut.

Bagi saya kejadian ini adalah salah satu bencana yang patut kita pertanyakan, bagaimana SOP dari penyelenggaraan pengeboran di Pertamina? Apakah mereka tidak belajar dari kejadian sebelumnya yang menyebabkan banyak kerugian tidak hanya di daratan namun terumbu karang dan ekosistem bawah laut pun terancam.

Menurut data yang dilansir dari tirto.id, tumpahan minyak mentah PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) dilaporkan telah mencapai Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
Sebagaimana kita tahu bahwa wilayah kepulauan ini adalah destinasi wisata favorit bagi turis untuk melancong. Jika minyak telah menyebar luas hingga Kepulauan Seribu saya khawatir akan berdampak pada kegiatan wisata di sana yang mencakup perekonomian warga dan ekosistem di dalam laut itu sendiri seperti terumbu karang, ikan dan lainnya.

Saya sendiri sejak beberapa kali berkunjung dan melihat langsung kekayaan alam bawah laut Indonesia utamanya terumbu karang ditambah dengan kunjungan terakhir saya di Artjog yang lebih membuka mata saya akan adanya terumbu karang sebagai penghasil oksigen di alam bawah laut sangat kecewa dengan kejadian yang terjadi. Apalagi sudah menyebar hingga Teluk Jakarta dengan dua pulaunya yang sudah terlihat adanya tumpahan minyak mentah, yaitu Pulau Rambut dan Pulau Untung Jawa. Citra satelit menyebut bahwa tumpahan ini sudah mencapai dasar laut yang dapat dipastikan merusak ekosistem seperti ikan dan terumbu karang. Selain nelayan dan terumbu karang, pihak lain yang dirugikan adalah petani garam. Sejak adanya kejadian ini, seharusnya tiap hari mereka mampu memanen sekitar 60-100 ton namun nyatanya kegiatan tersebut harus berhenti berproduksi. Entah berapa kerugian yang ditanggung.

Kejadian ini juga menarik perhatian netizen di media sosial Twitter. Data dari Drone Emprit melaporkan bahwa sejak 12 Juli 2019 lalu tren percakapan di sosial media khuusnya di Twitter, jika saya mengambil keywords pencemaran laut, maka paling tinggi yaitu pada tanggal 22 Juli namun topiknya bukan terkait dengan tumpahan minyak. Topik pencemaran laut terkait dengan tumpahan minyak mentah pertamina menempati posisi kedua dan ketiga pada 6 Agustus 2019.




Ketika saya mengubah kata kunci menjadi terumbu karang maka akun Jatamnas menempati urutan pertama. Sebagaimana kita tahu bahwa Jatamnas adalah singkatan dari Jaringan Advokasi Tambang yang dimandatkan untuk mendorong Pengelolaan secara adil dan bijak kekayaan tambang dan sumber energi hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat dan menjamin keberlanjutan keselamatan rakyat dan ekosistem kini dan masa depan. Berikut ini adalah analisis data dari Twitter:




Sama seperti di atas, jika kita melihat data SNA atau Social Networ Analysis dengan dua kata kunci yang saya ambil yaitu pencemaran laut dan terumbu karang, maka terbentuk beberapa cluster, salah satunya adalah Jatamnas yang sudah dibahas sebelumnya.



Jatamnas pun nampaknya geram dengan ulah Pertamina ini, hingga enam jam yang lalu tweetnya masih seputar tumpahan minyak mentah di Karawang.




Saya berharap penindaklanjutan bencana ini segera ditanggapi secara serius oleh Pertamina bahwa tidak hanya ekosistem di daratan saja yang diperhatikan seperti yang sudah mereka lakukan dengan mendirikan tenda medis namun juga ekosistem di dalam laut pun segera mereka tangani.



Comments

back to top