Mandrehe, West Nias Regency, North Sumatra, Indonesia

Megalitik Hili Goe: Wujud Bakti Anak pada Orang Tua




Ya'ahowu..

Setelah berjalan sekitar lima menit dari gapura pintu masuk situs megalitik, saya harus menaiki tanjakan kecil. Tanjakan tersebut membawa ke sebuah tempat datar yang sudah berdiri sebuah rumah berbentuk oval dan di sampingnya terdapat jajaran batu yang tertata rapi.

Akhirnya saya mengetahui bahwa rumah tersebut bernama Oma Hada, rumah adat Nias yang berbentuk oval dengan kaki-kaki rumah yang terbuat dari kayu.

Saya berjalan lurus menuju jajaran batu di samping Oma Hada dan melihat ada batu yang mirip dengan sebuah patung berukuran paling besar dan terletak menjauhi batu lain menarik perhatian.

Patung batu terbesar tersebut digambarkan dalam posisi duduk dengan kedua tangan di dada memegang sebuah wadah. Dagu berjanggut panjang, dan pada lehernya terdapat kalabubu (kalung). Tinggi patung sekiar 3 m. Patung digambarkan memakai penutup kepala dengan hiasan runcing melingkari seluruh kepala, muka persegi, mata kecil, hidung mancung,dan  jenggot sebagian sudah rusak. Telinga kanan beranting-anting bentuk lingkaran dan leher dihiasi kalabubu (kalung). Tangan kanan memakai gelang dan keris terselip di pinggang. Di depan patung tersebut terdapat batu datar yang mungkin digunakan sebagai altar.

Di sisi kiri patung terbesar ini terdapat prasasti berbentuk empat persegi panjang dengan menggunakan huruf latin berbahasa Nias. Terdapat angka tahun 1778 yang tertulis di prasasti tersebut. Wow 240 tahun umur patung ini ternyata!

Ini adalah pertama kalinya saya melihat batu megalitik terukir sangat detail dan menarik. Sebelumnya pengalaman saya melihat ukiran indah di batu ialah saat berada di candi-candi yang berada di Pulau Jawa yang notabene memiliki perbedaan kepercayaan dengan masyarakat Nias karena bentuk ukiran di batu yang ada di candi-candi Pulau Jawa tersebut sudah bercorak Hindu maupun Buddha. Sisi paling menarik yaitu digunakannya batu yang berukuran sangat besar (saya harus mendongak ketika melihat batu megalitik terbesar di Hili Gowe ini) serta ukiran detail seperti keris dan sebuah wadah yang dibawa di tangan batu megalitik.

Saya harus mendongak ketika ingin melihat kepala megalitik terbesar di Hili Gowe ini
Prasasti yang menuliskan angka 1778

Dulu, masyarakat Nias hidup dalam struktur budaya dan hukum yang tinggi.

Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Beberapa hal yang ditentukan dan diatur dalam fondrakö mencakup aspek-aspek fondu (kepercayaan atau agama); fangaso (perekonomian), hao-hao atau ele-ele (kebudayaan); forara hao fowanua (hak dan kewajiban); serta böwö (adat dalam pernikahan).  Salah satu bentuk nyata hukum adat tersebut adalah masyarakat Nias kuno yang hidup dalam budaya megalitik, dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau Nias sampai sekarang. Dalam aspek fondu (kepercayaan atau agama) para leluhur Nias kuno menganut kepercayaan animisme murni.

“Kepercayaan animisme adalah kepercayaan kepada roh yang mendiami semua benda (pohon, batu, sungai, gunung, dsb).” 

Peninggalan sejarah berupa batu megalitik memiliki dua fungsi, yaitu fungsi megalit yang utama berorientasi sebagai tanda peringatan bagi laki-laki atau perempuan yang muncul sebagai daro-daro atau naitaro, dan fungsi yang kedua yang lebih menjurus pada kepercayaan terhadap megalit yang memberikan perlindungan, keselamatan dan kesejahteraan yang memiliki kekuatan di luar kemampuan pikiran manusia (supranatural).

Ada satu falsafah yang menarik perhatian saya terkait dengan budaya masyarakat dan batu megalitik yaitu:

“zatua bano fangali lowalangi ba gulidanö”

yang memiliki makna orangtua merupakan pribadi yang harus dihormati bahkan sampai kematiannya, sehingga muncul sebuah falsafah hidup masyarakat Nias yang mensejajarkan orangtua dengan Tuhan, maka sudah menjadi suatu keharusan bagi sebagian masyarakat Nias kuno untuk mendewakan orangtua yang telah meninggal dengan membuat patung atau megalit yang menyerupai orang tua yang telah meninggal (adu zatua) dan menjadikannya sesembahan yang dipercaya dapat memberikan perlindungan dari berbagai macam malapetaka.

Bagi saya falsafah tersebut sangat dalam maknanya. Bagaimana harus bersikap kepada kedua orang tua meski mereka tidak lagi bersama kita. Sekaligus sebuah pengingat sekali ini bagi saya yang kebetulan saat ini sedang tinggal jauh dari orang tua. Maka saya harus terus ingat dan tetap hormat kepada mereka meski jarak memisahkan raga :(

Patung Megalitik di sisi lain Oma Hada


Patung Megalitik di sisi lain Oma Hada




...


Untuk menuju situs megalitik ini Anda dapat menggunakan jasa tur / travel dari Bandar Udara Binaka di Gunung Sitoli. Salah satu travel yang dapat Anda gunakan ialah Go Nias Tour : 081370163576

Berikut ini peta lokasinya, karena saya tidak dapat menemukannya di peta maka saya sematkan Kecamatan Mandrehe : 






Tulisan ini dibuat dalam rangka Famtrip yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata Nias Barat pada 27-29 Oktober 2018.

Sumber informasi tulisan:

Lucas Partanda Koestoro & Ketut Wiradnyana, Tradisi Megalitik di Pulau Nias, Balai Arkeologi Medan, 2007.
.

Comments

  1. Lalu tetiba orang tua dan keluarga yang nun jauh di Jambi :|

    ReplyDelete
  2. Kalau di agama kita, salah satu yang amalan yang tidak putus adalah doa anak saleh. Bukti juga bagaimana sebagai anak kita masih dapat mengirimkan doa untuk kedua orang tua.

    ReplyDelete
  3. Aku sampe skrg ga percaya kalau memang masi banyak batu-batuan yang utuh dan berdiri kokoh meski udah ratusan laut.

    Ah aku menunggu ceritamu Ce pas paddling macam bu menteri wkkw

    ReplyDelete
  4. mantap ya mba, megalitik hili gowe ada juga nih tentang lirik lagu nias

    ReplyDelete

Post a Comment

back to top