Lantunan lagu india
mengiringi perjalanan saya dari Bandara ke Hotel yang terletak di Georgetown.
Kepala saya reflek ikut bergoyang (sedikit-sedikit). Sebelum lagu india tersebut dimainkan, sopir
taksi online meminta izin kepada saya apakah diperbolehkan menyetel lagu india.
Saya pun langsung menjawab,"Ya tentu boleh."
Jadilah perjalanan
sore itu seperti perjalanan di New Delhi daripada di Penang mulai dari lagu, aneka
aksesoris di mobil, hingga sopir taksi online yang memang keturunan India (padahal saya belum pernah ke New Delhi :p).
Lagi-lagi India...
Mungkin ini yang
namanya konspirasi semesta, saya baru ingat saat diturunkan oleh sopir taksi di
hotel, lokasi penginapan saya berada di Little India. Beberapa toko di samping
penginapan terlihat menjual kain sari, punjabi dan jippa suits, aneka bunga,
dan lainnya.
Untuk sementara
perjumpaan saya dengan budaya India terhenti saat masuk ke dalam hotel karena
pemiliknya bukan warga keturunan India tetapi Tionghoa. Sambil melangkah gontai
masuk ke dalam hotel karena sudah lelah duduk, petugas yang berjaga bertanya
kartu identitas dan kode booking kami. Teman saya, Nofa, yang dalam perjalanan
kali ini bertugas untuk menangani urusan penginapan langsung menyerahkan
dokumen terkait. Urusan penginapan
lancar, petugas resepsionis langsung saja memberikan kunci kamar. Saat kami
meminjam adapter untuk keperluan charger perangkat komunikasi kami olala
ternyata petugas resepsionis yang sejak tadi melayani kami adalah orang Medan.
(kalau tau dari awal tidak perlu repot-repot ngomong bahasa inggris-_-)
Tidak lama saya
beristirahat di dalam hotel karena rundown yang disusun oleh kami sendiri
mengharuskan kami bergegas menuju salah satu tempat di sudut Kota Penang.
Avatar Park namanya. Tidak banyak yang saya ketahui dari tempat ini hanya taman
yang terletak di dalam sebuah kuil dan tepi pantai. Rencananya saya hanya
menghabiskan sore dengan duduk di tepi pantai kalau tempatnya memungkinkan dan
malamnya langsung menikmati Avatar Park. Hanya begitu saja, harapan yang saya
rajut tidak muluk-muluk #cailah ~
Namun ketidakjelian
saya melihat secara detail bagaimana destinasi wisata kali ini berujung manis.
Saya tidak menyangka sunset di tepi pantai yang masih satu kawasan dengan
Avatar Park ini begitu indah. Saya duduk di batu-batu di tepi pantai (yang
mengingatkan saya dengan Kenjeran) dan menghadap matahari yang tenggelam di
balik gedung-gedung pencakar langit.
Menikmati sunset dengan duduk di batu-batu |
Avatar Park |
Malam sepulang dari
Avatar Park kami memutuskan untuk mencari makan.
"Mau makan apa
ini?"
"Nasi Kandar
boleh deh Ma kayak rekomnya driver tadi."
"Siiip, tapi
Nasi Kandar manaa rek?"
Akhirnya berbekal
peta kuliner yang kami dapatkan di bandara, Nasi Kandar Line Clear kami
sepakati sebagai makan malam kami. Kesepakatan lain yang kami lakukan adalah
pemilihan lauk yang berbeda-beda agar dapat saling mencicipi. Ada cumi, ayam dan
olahan daging yang bisa kami rasakan dalam sekali makan.
Nasi Kandar Line Clear |
Penjual Chapati di Little India |
Hari-hari
berikutnya yang kami lakukan dalam urusan makan adalah mencoba berbagai olahan
yang belum pernah kami cicipi seperti chapati, pasembur, mie sotong, es kacang,
dan es teh tarik yang benar-benar ditarik bukan dari kemasan sachet.
Di akhir perjalanan
saya jadi berpikir, perjalanan kali ini mempertemukan banyak sekali ras, dari
India, Melayu, Tionghoa, sampai Batak.Hal tersebut didukung oleh data sensus
pada tahun 2016 dengan prosentase orang Melayu sebesar 67,4%, Cina 24,6,%, dan
India 7,3%.
Terkait dengan
multi ras ada sebuah catatan hitam di negeri Jiran pasalnya pernah terjadi
kerusuhan yang melibatkan ketiga ras ini pada 13 Mei 1969 dan menewaskan
ratusan orang beretnis Tionghoa. Penyebabnya dipicu oleh pemilu yang nyaris
memenangkan Democratic Action Party (DAP) yang didominasi etnis Tionghoa.
Pada saat itu
terjadi pula ketegangan pada sektor ekonomi yaitu kesenjangan antara warga
Melayu dan Tionghoa yang cukup tinggi. Tahun 1960-an warga Melayu menguasai
1,5% total kekayaan nasional dan mayoritas berprofesi sebagai petani di desa
berbeda dengan mayoritas warga India dan Tionghoa yang bekerja di sektor
perbakan dan industri di kota-kota.
Melihat hal
tersebut akhirnya pada 1971 dibentuk New Economic Policy (NEP) yang
mengistimewakan warga Melayu dalam berbagai sektor kehidupan publik. Meskipun
program ini bisa dikatakan berhasil namun hal lain terjadi di lapangan seperti
warga non-Melayu merasa dianaktirikan, kronisme pengusaha dan politisi Melayu
serta bagi masyarakat kelas bawah Melayu yang tidak merasa diuntungkan oleh
program pro-elit pribumi ini.
Perihal pribumi dan
non pribumi yang diberi aturan tertentu di Negeri Jiran ini nyatanya memiliki
dampak lain di lapangan. Saya memang tidak mengalami langsung apa yang dialami
warga negara tetangga sebelah namun entah mengapa bagi saya pengotak-ngotakan
malah membuat kesenjangan dan perbedaan makin terbuka lebar.
Georgetown |
Georgetown |
es cendol (tapi artificial :p) |
Masjid Nagore Dargha Sheriff yang dibangun sejak 1800-an |
Sejujurnya aku lihat foto sunsetnya itu syahdu. Aku jadi mbayangin duduk di situ sama pasangan. Terus kok aku senyum sendiri padahal nggak punya pasangan. :))
ReplyDeletemantapp
ReplyDeleteOhhh ternyata pernah terjadi ras problem di malaysia ya...masalah yang sungguh komplit dalam sebuah negara memang. klo a rasismendahulukan pribumi ntar katanya rasis. tapi klo tak ada aturan ya gitu deh .... lebih menguasai di sektor ekonomi.
ReplyDeleteSejak balik dari India, klo ke Singapore pasti hunting makanan di little India . Ke Malaysia juga. hehehe rasanya nggak jauh jauh beda dengan yang di India
ReplyDelete