Jika di kota tempat saya tinggal, Surabaya dan Sidoarjo, logat dan dialek penduduk Tionghoa mudah dipahami karena memiliki kesamaan dengan bahasa keseharian bahasa jawa, berbeda ketika saya berhadapan dengan warga Tionghoa di Tanjungpinang. Saya terdiam saat warga Tionghoa di Tanjungpinang berbincang.
“Saya yang ini aja bu,” ujar saya dengan menunjuk salah satu
kue kepada penjual di Jalan Merdeka yang juga sebagai pusat pecinan di
Tanjungpinang.
Alih-alih membalas ucapan saya beliau kemudian berbicara dengan
bahasa Tionghoa kepada rekannya yang baru masuk toko.
“..............” (saya tak bisa menuliskannya karena tak
paham apa yang mereka bicarakan)
Pengalaman serupa kerap saya alami ketika berada di kawasan
pecinan Tanjungpinang. Sebagai salah satu kelompok masyarakat di Tanjungpinang
yang berjumlah 13% dari dari total penduduk Tanjungpinang, warga Tionghoa di
sini rupanya memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan dengan warga Tionghoa di
kota lain, seperti yang ada di kota tempat saya tinggal Sidoarjo dan Surabaya.
Mereka menggunakan bahasa Tionghoa sebagai bahasa keseharian. Meskipun beberapa kali saya juga pernah mendengar masyarakat Tionghoa di Surabaya berbincang menggunakan bahasa Tionghoa, namun tidak sesering yang terjadi di Tanjungpinang.
Tepung Gomak |
Isi Tepung Gomak |
Konon menurut sejarah, masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang didatangkan dari Cina untuk memenuhi perintah Sultan Riau-Lingga. Mereka didatangkan dari Cina daratan ke Riau (Tanjungpinang) untuk melakukan pekerjaan sebagai petani Gambir kepunyaan Sultan. Perkebunan pun telah disiapkan Sultan disekitar Senggarang.
Adalah perintah dari Sultan Riau-Lingga agar mendatangkan kaum etnis Tionghoa dari Singapura ke Riau (Tanjungpinang), dan telah disediakannya tanah untuk perkebunan di sekitar Senggarang agar mereka dapat menggarap lahan Gambir tersebut.Perkebunan Gambir tersebut menjadi salah satu komoditi hasil bumi untuk pendapatan kesultanan Riau-Lingga sejak dikenalkan oleh Yang Dipertuan Muda Riau ke II, Daeng Chelak ibni Daeng Relaka sekitar tahun 1729 M.Pada masa penutupan kesultanan Riau-Lingga oleh Pemerintah Belanda di Tanjungpinang pada tahun 1911 M, perkebunan Gambir yang ada di Senggarang kemudian diambil alih oleh petani yang telah menggarap. Sejak saat itu kaum etnis Tionghoa mulai tinggal dan hidup di Tanjungpinang.
Ketika saya berjalan di Jalan Merdeka bangunan ruko berjajar
rapi di sepanjang jalan. Saya pun menyusuri sambil sesekali mengambil gambar.
Ada yang menarik ketika saya mengambil gambar di salah satu sudut, segerombol
merpati beterbangan dan duduk di atas kabel listrik. Sepertinya mereka tak
mengenal sengatan, dengan lincah satu persatu mulai beterbangan dan hinggap di
kabel listrik lain. Andai mereka tahu tentang sengatan listrik dan nasib naas
yang mereka hadapi yaitu menjadi gosong atau yang paling parah menjadi merpati
bakar, tentulah mereka tak akan hinggap dengan lincah di sana. Namun
pertunjukan sederhana terbang-hinggap dengan lincah sang merpati menjadi hal
menyenangkan bagi saya ketika menyusuri Jalan Merdeka.
merpati di atas tiang listrik di pecinan |
Setelah puas mengambil gambar, saya pun mengikuti teman saya
berjalan menyusuri pecinan. Ragam produk dijual dan ditawarkan, mulai dari ikan
bakar, es tebu, ikan kering, baju import, penukar uang asing,dan masih banyak
lagi. Ada pula sebuah hotel melati, hotel wisata namanya, yang berada di
tengah-tengah pasar.
Di ujung perjalanan di pecinan Tanjungpinang kami singgah di
salah satu vihara, Bahtra Sasana namanya. Vihara ini dibangun pada tahun 1857
oleh etnis Cina-Hokkien.
Vihara Bahtra Sasana |
Ratusan burung merpati menyambut kedatangan kami.
Teman-teman saya sudah menggenggam jagung di tangan mereka untuk diberikan pada
burung merpati. Saya yang tertinggal paling belakang pun ikut-ikutan.
Seorang teman saya mencoba mendekat ke arah gerombolan
burung yang sedang asyik makan jagung di tanah untuk memberi makan lebih dekat dan ketika teman saya datang, wusss, mereka
terbang dan berhamburan terbang. Teman saya terlihat sedikit menyesal tapi kami semua
senang melihat adegan terbang tersebut, ketika dicoba lagi adegan tersebut tak
bisa diulang.
Pengurus vihara, Pak Jani, berkata,” Sebenarnya burung yang
di vihara tak sebanyak ini (sambil mendongak ke arah kabel listrik yang ada di
vihara) namun ketika diberi makan, burung tersebut mengajak “teman-temannya”
yang bukan di vihara, jadinya banyak sekali.”
Pak Jani |
Mungkin burung-burung tersebut menganut asas gotong-royong
dalam mencari makan sehingga mereka mengajak teman-temannya makan bersama.
Vihara Bahtra Sasana adalah destinasi terakhir kami di
pecinan,sebelum kami beranjak pergi dari
pecinan, saya mendongak ke atas, memberi
salam perpisahan pada merpati di atas kabel,” Yang akur sama temen, jangan
bikin Pak Jani repot di sini.”
merpati di atas vihara |
Jalanan di pecinan |
Penjual es tebu |
hotel di pecinan |
Belum sempat nyicip, sepertinya menarik :D |
hotel di dalam pasar |
penjual seafood |
Tempat Tukar Uang |
Penjual Roti |
Penjual ikan kering |
Salah satu sudut di pecinan |
Catatan: ketika berjalan-kaki di Pecinan Tanjungpinang coba
cicipi jajanan yang dijual di sepanjang jalan, kue-kue basah yang dijual di
toko dan es tebunya enak nan segar!
Tulisan ini adalah salah satu hasil perjalanan dari kegiatan
famtrip oleh Kementerian Pariwisata. Semoga bermanfaat ya tulisannya :D #PesonaIndonesia #PesonaTanjungpinang
Sumber informasi: www.daengfirman.com
Nek ndek Surabaya gitu logat orang Tionghoa jadi lucu kesane hahahaha. Aku selalu ketawa kalo lihat orang tionghoa ngomong ndek Jatim #maapkeun
ReplyDeleteitu makanan e halal kah kak?
hehe iya apakah di jatim tok? di jogja ndak sama ta?
Deletehalal bos..
Ah ya, pernah ke surabaya dan sering nemu Tionghoa dengan logat yang kesurabayaan.
ReplyDeleteDan jadi penasaran logat di Tanjung Pinang. Hm perjalanan yang menarik, Mbak. :)
terima kasih mbak, yang di tanjungpinang dimana-mana ngomong bahasa Tionghoa hehe kalau di Surabaya hampir sama sama bahasa keseharian
DeleteWahaha iya eh, logat tionghoa surabayaan memang medoknya melebihi orang jawa tengah wkwk.
ReplyDeletePecinan memang selalu menarik untuk di telusuri ya mbak. Dan itu burungnya banyak sekali. Burung liar ato ada yg sengaja memeliharanya lalu dilepasliarkan begitu ya
woh yaaa? kenapa ya kira-kira bisa gitu..
Deleteburungnya dipelihara sama vihara di sana mas tapi mungkin ada juga yang liar
Indonesia beragam suku tapi tetap satu, Bhinneka Tunggal Ika. Saya karena punya kerabat dari Tionghoa, jadi tahu sedikit-sedikit bahasa daerah yang disebut
ReplyDeleteKek :)
Bhinneka Tunggal Ika, wah asik dong bisa paham sedikit bahasanya, saya ndak tau sama sekali ._. jadi cuma bengong pas mereka ngobrol hehe
DeleteMba Ima ki meneng2 diam e. Eh, diam2 sudah melalang buana maksudnya. Aku jadi pengen ke Tanjung Pinang nih.
ReplyDeleteHayoo. ada lhoh sebabnya, kenapa burung tak terkena sengatan dari kabel listrik? sedangkan manusia bisa kena. Hayo hayo. Hehe
Semoga bisa dolan dan menggali budaya Tanjung Pinang
wah kenapa tu kak? *buka buku ipa* wkwk
DeleteAamiin, semoga aku juga bisa eksplore ke sana lagii
Waaaaaaah, berapalah kira2 harga hotel di Pecinan itu ya. Kayaknya seru nginep di sana biar bisa nongkrong di pasar pagi2
ReplyDeleteSudah pernah menginjakkan kaki di tanah Kepri bagian Batam, tapi belum sempat berkunjung ke Tanjung Pinang. Ternyata bagus
ReplyDelete