Mata saya menatap cemas ke arah depan, sesekali menelan
ludah dan merapal doa, tangan kanan saya berpegang pada dashboard mobil, dengan
satu hentakan rem yang cukup keras mobil yang saya naiki berhasil melewati
genangan lumpur yang masih basah.
Kejadian tersebut terjadi berulang-ulang saat perjalanan
saya menuju Desa Keduwung bersama dengan VES Community yang bekerja sama dengan
salah satu komunitas yang saya ikuti.
Awalnya saya tak terlalu mengenal komunitas tersebut hanya
mendengar sedikit saja keterangan dari teman saya. Saya pun tak terlalu
memkirkan siapakah VES Community hingga saat memasuki Kabupaten Pasuruan saya
harus berganti mobil karena medan yang tak memungkinkan menaiki mobil small mpv
lagi.
Saya sempat berganti mobil dua kali dan akhirnya mobil berwarna
putih miliki Om Martin yang menjadi teman perjalanan saya kali ini.
Perjalanan kami dimulai saat meninggalkan area GOR di
Pasuruan. Perlahan dalam satu baris, mobil VES yang merupakan singkatan dari
Vitara, Escudo dan Sidekick mulai bergerak.
Kali ini mobil Om Martin bergerak di barisan mobil paling
belakang atau istilahnya sebagai Sweeper. Di sinilah salah satu pengalaman baru
saya dimulai.
Sweeper kali ini sangat berbeda dengan Sweeper yang saya
ketahui sebelumnya sebagai pengacau petulangan Dora. Malah sebaliknya tugas
Sweeper menurut saya cukup berat karena harus memantau rombongan dari belakang,
menemani anggota apabila terjadi masalah, serta berkabar apabila terdapat
kendaraan lain yang ingin mendahuli rombongan. Tugas tersebut adalah hasil Googling
saya dan memang selama perjalanan saya mengalami itu semua.
Selain pengalaman baru menjadi seorang Sweeper ada satu hal lain
yang menarik selama perjalanan yaitu adanya radio yang berfungsi untuk media komunikasi
antar mobil karena tidak mungkin menggunakan sambungan telepon ataupun chat
untuk saling berkabar tentang keadaan mobil dan jalan yang dilewati. Radio
tersebut pun menjadi penghibur di tengah perjalanan yang sepi karena pada saat
itu hari sudah mulai larut. Kelakar yang dikeluarkan oleh driver mobil lain
membuat saya tertawa terbahak. Kalau perjalanan diselingi candaan seperti ini
meskipun jaraknya jauh pun akan terasa terus menyenangkan.
Rombongan mobil kami mulai memasuki area pegunungan. Suasana
menjadi lebih sepi. Lampu – lampu jalan mulai meredup. Rumah – rumah warga
mulai menghilang dan pemandangan mulai berubah menjadi hutan. Lampu penerangan
sepenuhnya dari lampu mobil.
Saya mulai memejamkan mata karena beberapa jam lagi kegiatan
akan dimulai dan saya harus menyiapkan stamina dan tenaga ekstra karena
seharian penuh saya harus mengurusi kegiatan tersebut. Namun harapan saya untuk
beristirahat pupus, saya tak memejam sedikitpun. Rasa kantuk tak kunjung
datang. Teman saya yang lain, Fidha, sudah larut di dalam hutan kapuk. Akhirnya
saya memilih menikmati perjalanan sambil mengobrol dengan Om Martin.
Saya yang begitu penasaran karena belum mengetahui secara
jelas apa itu VES dan kegiatannya akhirnya mulai sedikit mengerti dan paham
bagaimana komunitas tersebut hidup di tengah hingar bingar komunitas –
komunitas mobil yang lain.
“Komunitas VES ini santai, tidak ada iuran rutin, kalau ada
yang ingin gabung ya silahkan langsung,” kata Om Martin menjelaskan kepada saya
sambil sesekali menjawab obrolan yang ada di radio.
Jalanan yang saya lewati makin gelap. Saya mulai membuka
jendela dan merasakan udara dingin pegunungan.
Saat di tengah kegelapan tersebut saya mulai sadar
pentingnya alat komunikasi radio. Dari mobil lain melewati radio tersebut
mengabarkan keadaan jalan yang dilalui seperti jalan menukik tajam, ada
jembatan, belokan curam, atau harus berjalan satu persatu atau saat tiba – tiba
berhenti karena ada penumpang yang mual.
Akhirnya rombongan kami sampai di desa terakhir sebelum
perjalanan kami dimulai kembali. Di sini kami beristirahat di mobil
masing-masing sambil menunggu matahari mulai terbit karena terlalu bahaya
apabila memaksakan naik saat malam hari. Desa tersebut adalah salah satu dari
tiga dusun Kedawung.
Sekitar 2 jam kemudian perjalanan kembali dimulai dan mobil
Om Martin tetap sebagai Sweeper. Di sinilah perjalanan yang sesungguhnya
dimulai *sambil mendengarkan backsound mtma*
Pertama kali rombongan mobil harus melewati sebuah jalan
berpaving. Tiap mobil harus mengambil ancang-ancang yang pas kalau tidak akan
terjadi seperti yang mobil depan saya alami. Karena ancang – ancang yang kurang
pas akhirnya mobil tidak kuat untuk menanjak naik. Om Martin lewat radionya menyuruh mobil di depan saya mundur
untuk mengambil ancang-ancang. Dan benar saja ketika mobil sudah turun di
tempat yang lebih landai kemudian mobil menancapkan gas kuat – kuat untuk dapat
naik.
Kemudian kali ini giliran mobil Om Martin yang mulai
merangkak naik. Namun ada sedikit kendala karena mobil tidak dapat bergerak
walaupun sudah di gas. Akhirnya mobil pun mundur untuk mengambil ancang-ancang
namun ternyata mobil tidak dapat bergerak naik malah bergerak mundur.
Om Martin
tetap berusaha menancap gas namun hasilnya nihil. Dengan tangan kiri
mengabarkan keadaan mobil yang belum bisa naik melalui radio tiba – tiba mobil
yang bergerak mundur berada seperti
diluar kendali dan akhirnya “Brak!” mobil yang saya naiki menabrak dinding
pagar rumah warga. Mobil Om Martin terperosok tak dapat bergerak. Kami pun
turun dan melihat apa yang terjadi.
Warga sekitar yang melihat kami akhirnya membantu dengan
menggoyangkan mobil sambil di gas oleh Om Martin. Deru mesin terdengar keras
dan setelah beberapa kali usaha akhirnya mobil berhasil kembali ke jalan utama
dan merangkak naik.
Saya yang cukup was – was melihat kejadian tadi mengajak
tiga teman saya yang lain untuk segera naik menuju mobil yang sudah menunggu di atas.
“Itu tadi gara-gara ban mobilnya dan paving yang licin..”
ujar Om Martin.
Perjalanan kami mulai kembali. Beberapa menit kemudian ada
mobil lain yang berhenti. Teman saya yang berada di mobil tersebut berkata
bahwa medan jalan cukup parah. Lumpur dan air yang menggenang menjadi salah
satu tantangan.
Akhirnya kami harus bersabar menungu mobil lain naik ke atas
satu persatu.
Kesabaran kami berbuah manis. Setelah melewati beberapa
tikungan tajam dengan medan jalan yang berlumpur kami sampai di Desa Keduwung.
Barisan mobil VES yang berjajar rapi menarik perhatian
penduduk setempat.
Mungkin di batin mereka mengatakan Siapa gerangan yang
datang pagi-pagi betul begini. Tak hanya satu mobil lagi...
Anjing-anjing kampung pun ikut menyalak seolah mengucap
salam selamat datang pada kami.
Penduduk Suku Tengger Desa Keduwung |
----
Pulang
Perjalanan pulang dimulai lebih pagi. Kami sudah bersiap
pukul 07.30 untuk turun kembali ke rumah. Salah satu anggota VES mengatakan
bahwa sebaiknya jam pulang dimulai lebih pagi pasalnya cuaca yang sedang tidak
menentu menjadi salah satu alasan utama.
Tidak terbayang bagaimana kami akan melewati jalan
yang dilalui sehari sebelumnya dengan keadaan hujan. Itulah yang ditakutkan.
Setelah pamit dan mengucap perpisahan kami pun menaiki
mobil. Dan saya kembali menaiki mobil putih Om Martin bersama dengan Kak Hanif
dan Emil ditambah dengan kepala sekolah SD yang juga turut serta di mobil.
Perlahan kami meninggalkan Desa Keduwung.
Tak berapa lama kami meninggalkan Desa Keduwung, matahari
mulai tertutupi awan tebal.
Wah bahaya nih kalau di jalan dan kehujanan sambil
mengingat-ingat medan jalan ketika berangkat, batin saya.
Om Martin tetap fokus menyetir mobil sambil sesekali
berbicara pada radio HT dengan mobil lain mengabarkan keadaan jalan yang mulai
berkabut dan jarak pandang yang begitu minim.
Saya ngeri-ngeri sedap melihat medan jalan yang dilalui. Apabila
di lagu naik-naik ke puncak gunung liriknya berbunyi kiri-kanan kulihat saja,
banyak pohon cemara maka kini berganti
kiri-kanan kulihat saja banyak jurang terbuka ~
Kiri-kanan kulihat saja banyak jurang terbuka ~ |
Berjalan diapit jurang dengan jarak pandang yang begitu
minim karena kabut yang turun menjadikan perjalanan ini adalah salah satu
perjalanan paling tidak akan saya lupakan dan menjadi perjalanan yang cukup
menantang di tahun 2016.
Beruntung saat itu perjalanan berjalan lancar tidak ada lagi
mobil yang selip atau mengalami hambatan.
Menjadi sweeper adalah hal menarik dan baru bagi saya dan kesabaran
adalah salah satu kunci menjadi sweeper yang baik. Bagaimana dengan sabar
membantu teman atau mobil lain yang sedang mengalami masalah, bagaimana
menurunkan ego mendahulukan orang lain daripada kita, serta yang paling penting
ialah selalu memantau dan berkabar perihal keadaan apapun yang sedang terjadi
karena sweeper berada di paling belakang sehingga ia menjadi istilahnya penutup
bagi rombongan yang sedang berjalan.
Saya begitu senang dan ingin sekali mengulangi pengalaman ini
dan apabila diberi kesempatan kolaborasi dengan komunitas saya lagi, yuk mari
:D
Wiiiih seru off road kayak gitu :D :D
ReplyDeletePerjalanan menapaki jalan menanjak itu selalu menegangkan, tapi lebih menegangkan saat turunan haha. Tapi memang kalau pavingnya licin itu bisa bikin repot, ban jadi tidak kuat mencengkeram.
keren dan seru, pengen banget offroad kyak gini, klo di karanganyar jateng juga ada kak beginian :)
ReplyDeleteWaah... asik... Kayaknya dingin ya disana?
ReplyDeleteKeren dan seru sepertinya
ReplyDeleteUda lama pengin offroad kyk gini tp blm kesampaian euy. Seru yah
ReplyDeleteSeruuu banget offroad kayak gini. Menegangkan, menantang sekaligus asyik. Untunglah, ada penduduk yang siap membantu. jadinya jalan lagi.
ReplyDelete