Dulu, hidupku sangat bahagia. Betapa tidak, punya rumah yang
nyaman dengan halaman pekarangan istimewa yang dipuja – puja banyak orang dan
hidup tenang bersama teman-temanku yang sangat banyak jumlahnya.
Sekarang? Aku lebih banyak diam menikmati masa tua bersama
teman-temanku yang tersisa di pekarangan rumah.
Pekarangan rumahku |
Oh iya aku lupa belum memperkenalkan diri, namaku Fatu Un.
Sudah ratusan tahun hidup dan tinggal di sebuah pantai bernama Kolbano. Halaman
rumahku indah, gradasi warnanya tak pernah membuatku bosan tinggal di sini.
Mulai dari putih, biru laut, sampai biru pekat, ah tak pernah bosan aku
melihatnya.
Aku punya banyak sekali teman, serius banyak sekali. Aku
sendiri tak hafal semua nama mereka tapi mereka hafal namaku, pastilah, aku kan batu yang paling mencolok di sini.
Mereka semua berkulit menarik,ada yang putih bersih, cokelat
matang, ada juga yang berwarna abu-abu. Nah sudah kubilang sebelumnya, aku
paling mencolok di sini itu karena sejak lahir kulitku hitam legam berbeda
sekali dengan teman-temanku yang tinggal di sini. Tapi semua teman-temanku tak
pernah mengejekku, kata mereka,”Biarlah berbeda,itu kan malah yang membuat
makin indah.”
Ah bisa saja mereka itu,aku tau mereka sedang menyenangkan
hatiku.
Tinggiku sekitar 50 m (aku tadi sudah bilang kalau aku
paling mencolok). Tinggi sekali kan? Dari tinggiku itu aku bisa melihat jauh ke
depan rumahku. Samudera lepas yang sesekali mengirimkan salamnya lewat
ombak-ombak kecil yang sering menggelitiki kakiku serta melihat perahu-perahu
kecil nelayan sekitar rumah yang bergerak pelan mengikuti gelombang ombak.
Nama tempat tinggalku adalah Kolbano. Ada
cerita heroik yang pernah kusaksikan yaitu saat masa kedatangan orang asing ke
tempat tinggalku ini. Bukan untuk berwisata namun untuk menguasai wilayah aku tinggal.
Dulu masyarakat desa ini sudah terkenal idealis. Mereka berani melawan
penindasan Belanda lewat kisah heroik "Perang Kolbano" tanggal 26
Oktober tahun 1907. Di bawah pimpinan 3 orang pahlawan : Boy Kapitan (Boy
Boimau), Pehe Neolaka dan Esa Taneo, mereka semua berhasil membunuh pasukan
Belanda.
Sebuah kisah yang menghiasi halaman sejarah perjuangan
rakyat Timor Tengah Selatan (TTS) melawan penjajahan. Ada bukti berupa sebuah
tugu peringatan perang Kolbano yang dibuat oleh pemerintah Belanda satu tahun
setelah perang itu (1908), namun kini kondisinya tak begitu terurus lagi.
Baiklah itu tadi cerita singkat tentang diriku. Sekarang aku
akan sedikit bercerita tentang kejadian beberapa belas tahun belakang yang
membuatku makin sering menatap ke lautan lepas menunggu burung camar datang
untuk membawa kabar.
Hari itu seperti hari-hari sebelumnya, aku bangun pagi
dengan ombak – ombak kecil yang menggelitik di badan-badanku. Mata kubuka
lebar- lebar dan siap menyapa teman-temanku yang tinggal disini. Aku tak hapal
nama mereka semua biasanya aku berteriak kencang sambil berucap,”HALOOO
SEMUA...BAGAIMANA KABAR KALIAN? SEHAT SEMUA KAN?”
Lalu selanjutnya suasana pasti langsung riuh. Satu persatu
menjawab salamku.
“Baiiiik.”
“Kok sudah pagi, aku baru tidur beberapa jam Fatu Un.”
“Semoga hari ini pengunjung tak seramai kemarin, pusing
kalau terus di lempar bocah ingusan itu.”
Dan masih banyak lagi kalimat-kalimat sapa yang teman-temanku
ucapkan.
Namun hari itu, ada pemandangan sedikit berbeda di Kolbano.
Banyak sekali orang berdatangan. Aku tak mengenalnya. Wajah mereka
mirip dengan penduduk di Kolbano.
Namun ada yang aneh. Mereka mulai membangun pondok-pondok
kecil di tepi pantai dan mendirikan alat-alat sederhana terbuat dari kayu yang
mereka rangkai sendiri.
“Mereka siapa Fatu Un?”
“Entah..aku tak pernah melihatnya, sepertinya bukan penduduk
desa ini. Mungkin sanak saudara penduduk sekitar.”
Mereka pun mulai melakukan hal yang mencurigakan, mengambil satu
persatu temanku ke dalam ember kecil dan memilah berdasarkan warna dan corak di
kulit temanku.
Kemudian mereka memasukkan teman-temanku ke dalam
karung-karung berwarna putih.
“Hei apa yang akan kalian lakukan?” teriakku yang aku yakin
terdengar seperti hembusan angin pantai saja di telinga mereka.
Satu – persatu temanku yang berada di dekat pantai diambil
oleh mereka. Dipilih berdasarkan warna, dimasukkan ke ember, dan dimasukkan ke
dalam karung putih.
Semua temanku berteriak kebingunan. Aku yakin mereka tak
mendengarnya hanya suara angin pantai yang mereka dengar.
Setelah dimasukkan ke dalam karung, mereka mulai mengangkat
karung tersebut ke dalam bak kendaraan beroda empat yang diparkir di dekat
pantai dan dibawa pergi entah kemana.
Mau di bawa ke mana semua teman-temanku, mengapa mereka dimasukkan
ke dalam karung, apakah mereka akan dipindah ke pantai baru, kudengar di
wilayah tempat tinggalku banyak pantai cantik.
Namun sejak hari kepergian teman-temanku saat itu tak ada
kabar lagi ke mana mereka berada. Dan tiap hari pula teman-temanku yang lain
mulai diambil satu persatu kemudian dimasukkan ke dalam truk dan dibawa dengan
kendaraan dengan bak besar di belakangnya.
Lambat laun kudengar dari burung camar yang sering bermain
di halaman rumahku untuk mencari makan. Teman – temanku di bawa ke pulau
seberang untuk dijual sebagai batu hiasan di taman dan akuarium tempat rumah
manusia tinggal.
“Di pulau seberang tak ada batu hias secantik ini kah
camar?”
Avin, burung camar temanku, menggeleng perlahan sambil memakan ikan-ikan. Entah gelengan tak tahu atau gelengan untuk berkata tidak.
“Aku tak tau Fatu Un. Namun karung putih itu dibawa ke penjual
di kota. Manusia di sana sangat suka dengan bentuk dan corak teman-temanmu. Aku
kadang melihat mereka berada di sebuah kotak kaca dengan air di dalamnya, ada
juga yang diletakkan di taman-taman dalam rumah.”
“Kau tidak menanyai mereka,apa mereka betah tinggal di
sana?”
“Aku sempat bertemu dengan Sani, temanmu yang berwarna cokelat muda dengan banyak garis hitam yang dulu tinggal di dekat perahu yang sudah usang itu, katanya sangat rindu dengan rumahmu ini Fatu Un. Tempat tinggal barunya tak cukup menyenangkan. Pemiliknya jarang membersihkan tempat tinggalnya alhasil banyak lumut yang menempel di badannya.”
Aku sedih mendengarnya. Sani dulunya adalah salah satu temanku
yang paling cerewet. Aku tak membayangkan ia hidup di dalam kotak kaca yang
juga baru kuketahui namanya adalah akuarium.
Teman-temanku setiap hari selalu pergi meninggalkan Kolbano.
Mereka dimasukkan ke dalam karung putih dan diangkut menggunakan kendaraan bak
besar.
Aku tak bisa berbuat apa-apa selain melihat adegan tersebut
tiap hari. Namun satu harap dalam doa yang ku ucap tiap hari. Semoga kalian
baik-baik saja entah di manapun kalian berada.
Sejak tahun 90-an, pemerintah membuka keran penambangan
pasir dan batu warna yang memanjang dari pantai Noesiu, Kolbano sampai dengan
Oetuke dan sekitarnya, hanya menyisakan 100 m di sisi timur dan barat Fatu Un
sebagai daerah larang tambang. Sesuatu yang bertolak belakang, disaat pantai
ini dikenal sebagai wisata dengan pemandangan pantai yang menakjubkan namun
berjarak beberapa ratus meter dari pusat wisata Fatu Un, pengunjung disuguhi
lubang-lubang galian yang dibuat masyarakat pendatang untuk mencari batu dan
pasir berkualitas.
Pendatang tersebut meninggalkan desa mereka untuk pergi
ke pantai Kolbano dan mulai membangun pondok-pondok di dekat pantai untuk
menjadi penambang pasir dan pencari batu warna dengan harapan mencari tambahan
pundi-pundi untuk mencukupi kebutuhan.
Ketika pengunjung mengagumi keindahan Kolbano yang memiliki
keindahan garis pantai dan gradasi air laut yang menakjubkan, di sisi lain pantai
ini tak lebih menjadi ladang makan bagi para pendatang.
Teman-teman Fatu Un, batu warna-warni di Kolbano |
Sumber informasi:
Pantai Kolbano ini terletak di Desa Kolbano, Kecamatan Kolbano, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur. Seperti cuaca di sebagian besar daerah di Pulau Timor, pantai ini juga memiliki cuaca dengan matahari yang cukup terik. Jangan lupa siapkan pelindung dari sengatan matahari ya (sunblock, kacamata, dll). Selamat berjalan-jalan kawan :))
Wah asyik cara bertuturnya :)
ReplyDeleteFotonya juga keren :)
wa makasih mas masih belajar terus ini ._. hehe
DeleteINi keren banget. Serius!! KEREN BANGET.
ReplyDeleteAKu jadi bisa ngerasain tokoh 'Fatu Un' yang kuduga itu adalah istilah nama penulisnya. Ternyata aku salah. itu nama batu yang menjulang tinggi di tempat itu. Serius, diksinya bagus, alurnya santai dan jelas..
Jadi pengen kenalan sama Fatu Un. Siapa tau aku bisa membantu ia bertamu dengan temen2nya lagi. Tapi, rasanya mustahil, ya. :D
Btw, aku ngerasa kasihan dan gak tega banget sama tempat ini. "Kenapa harus dilakukan penambangan ya? Entahlah.
hihi iyaaa, Fatu Un nama batu yang paling gede di kolbano. Temen-temennya Fatu Un udah mencar kemana-mana, ngumpulin satu-satu hmmm bener mustahil sepertinya ._. doain aja biar Fatu Un gak kesepian di Kolbano yaaa :D
DeleteMungkin karena "mereka" melihat potensi besar pada teman-teman Fatu Un, bisa diperjualbelikan..
Tapi dibalik semua cerita Fatu Un, Kolbano sangat menarik dikunjungi, kalau berkunjung ke Kupang, jangan lupa mampir di Kolbano yaaaa :D
Suka sekali dengan penuturannya :)
ReplyDeleteHai kak, terima kasih sudah menyempatkan membaca tulisan amatir saya yaaa :) masih belajar kak semoga dapat lebih baik lagi :D salam kenal yaa
DeleteIma, aku suka penuturan tentang Fatu Un ini! Keren! KEREN!
ReplyDeleteKepp up the good writing! :)
Kak giooo,aku beli novel singgah eh ternyata ada tulisannya kak Gio yaaa aku juga suka tulisannya kakak! makasiii mau berguru ahh haha
DeleteBagus, keren banget, Im. Eh, ada Boboi Boy disana hahaha :D
ReplyDeleteBtw, jepretannya bagus juga, beniiing...jadi 'ngiler' pengen kesana :D
boboi boy apa ya wik?hehe aku gak tau kudet bangett
DeleteNabung yuk trus kesana, dijamin gak bohong kok fotonya, kerenn banget tempatnya soalnya :D
TEmpat yang kece gini emang bikin manusia lupa diri dan menjarahnya demi tuntutan perut dan gengsi. Lagi-lagi pemda setempat yang mesti bikin aturan agar alam tak dirusak.
ReplyDeleteSalam kenal mbak :)
Salam kenal juga mbak :D
DeleteSemoga secepatnya dapat ditangani ya mbak, sayang kalo teman-temannya Fatu Un ilang semua :(
Aku lihat pantainyaa kerenn ... Jadi pengen berenang mbaa. Hhiiii
ReplyDeleteTulisannya juga ciamik :)
Hai Mbak salam kenal ya :D
DeleteAslinya lebih keren nan mengagumkan mbaaak, eh tapi hati-hati kalo renang soalnya itu lautan lepas yang berhadapan langsung dengan samudera gitu mbak..
batu2nya memang bagus yaa.. pantesan banyak diambil dan dijual di kota :(..
ReplyDeleteiya mbak, bagus banget batu-batunya, warna-wani, bentukya lucu-lucu gemasss pengen bawa semua eh tapi jangan deh kasian nanti Fatu Un makin kesepian :(
DeleteBatu-batunya cantik sekali...
ReplyDeleteterhanyut ak sama jalan ceritanya :)
Terima kasih kak udah mampir :D masih belajar kak hehe salam kenal ya
Deletebuseeeeet enak banget :O
ReplyDeleteenak banget apanya kak ._. pantainya kah? kalo itu jelass asik bangett hehe :D
DeleteTulisan yg kereen. Terima kasih telah menulis ttg Kolbano. Salam kenal..
ReplyDelete