Menapaki Kaki Gunung Tertinggi Pulau Timor




Fatumnasi dan Hutan Bonsai adalah tujuan perjalanan saya kali ini di hari kedua di tanah Kupang. Sebelumnya saya memang sengaja tidak mencari informasi tujuan wisata pada itinerary yang telah dibagi supaya liburan saya makin memberi kejutan-kejutan tanpa saya sangka sebelumnya, waktu itu saya berpikir seperti itu. Namun salah satu teman saya mengunggah gambar sebuah pemandangan bukit hijau dengan pepohonan di sekelilingnya dan ada beberapa kuda yang terlihat sedang menunduk mencari makan.

Negeri di atas awan , caption yang diberikan oleh teman saya, pada gambar yang dikirim di grup chat.

Pemandangan bak negeri dongeng tersebut terus tertancap di memori otak saya. Tinggal menambah seorang pangeran dan putri dengan gaun yang menjuntai di bawah mata kaki makin miriplah dengan cerita di film cinderella yang bertemu pangeran ketika berburu dengan pasukan kerajaan.

Udara segar sejak meninggalkan bola palelo, daerah perbukitan menuju Gunung Mutis, menjadi penambah semangat saya mencocokkan gambar negeri di atas awan dengan tujuan saya nanti.

Melewati wilayah Fatu Kolen di kawasan Cagar Alam Mutis


Sisi lain Fatu Kolen


Jalanan kian berat, tak terhitung berapa kali saya terguncang di dalam mobil ke kanan dan ke kiri. Seperti saat menaiki perahu dengan ombak yang tinggi, terombang ambing tak karuan rasanya. Beruntung perut tak bergejolak mengeluarkan segala isinya. Salah seorang teman saya, luis memilih untuk masuk di dalam mobil karena merasa makin tak enak badan. Akhirnya kami berempat berdesakan dalam kursi belakang.

Sekitar 20 menit kemudian mobil yang kami kendarai mulai menepi. Jalanan yang berbatu besar mulai berubah menjadi lebih teratur meskipun tetap berkerikil. Pak Mesakh akhirnya berkata pada kami,” Sudah sampai di Fatumnasi.”

Ketika saya turun saya sempat melihat sebuah papan bertuliskan Homestay Lopo Mutis. Ternyata tempat yang kami singgahi ini adalah sebuah penginapan yang ada di kaki gunung Mutis. Namun tak seperti homestay layaknya yang berada di lokasi wisata yang biasanya saya lihat namun homestay di sini adalah berupa pondokan dengan bentuk rumah khas daerah Timor.

Papan Homestay Lopo Mutis


Kami langsung disambut dengan bunyi musik dan tarian tradisional. Penarinya adalah anak – anak kecil dan sebagai penabuh musiknya adalah orang – orang tua. Di kaki para penari tersebut terdapat sebuah benda bergemirincing yang makin menambah semarak tarian.

Tarian penyambutan di Lopo Mutis

Tak hanya di luar ruangan, ketika dipersilahkan untuk masuk di dalam ruangan setengah outdoor kami masih diajak untuk menari bersama, saya kurang megetahui apa jenis tariannya. Tapi ketika itu ada seseorang yang mengalungkan selembar kain tenun di leher saya dan itu artinya ajakan utuk menari bersama.

Saya pun berdiri dari tempat duduk. Mengikuti lingkaran yang ada di tengah ruangan dan mulai meniru gerakan tarian penari yang ada di depan saya.

Tangan saya kaku, sejak kecil tak pernah mengikuti kegiatan tari – tarian. Saya yang sejak kecil lebih sering bercengkrama dengan kulit bundar kini harus menekuk tangan dan menggerakannya dengan irama musik yang mendayun – dayun. Berbeda sekali dengan apa yang biasanya saya lakukan. Bisa dikatakan ini adalah pengalaman pertama saya menari. Beruntung gerakannya tak terlalu rumit hanya menggerakkan tangan dan kaki secara sederhana tak perlu sampai menekuk dengan gemulai.

Foto oleh Ayojalan2.com 

Setelah menyambut kami dengan tarian akhirnya pak Mateos Anin, Kepala Adat di Fatumnasi, menyampaikan beberapa kata penyambutan atas kedatangan kami. Saya kurang mengerti apa yang dibicarakan karena bahasanya berbeda sekali dengan apa yang saya pakai sehari-hari. Saya pun mengangguk beberapa kali menghormati untuk berpura-pura mengerti apa yang dibicarakan.

Ruangan yang kami tempati nampak kian semarak ketika perwakilan dari kami dikalungkan kain tenun di lehernya oleh Pak Meteos Anin. Seperti tanda penerimaan sudah datang di Fatumnasi. Setelah proses penerimaan tersebut akhirnya kami diperbolehkan untuk melihat keadaan sekeliling homestay Lopo Mutis.

Beberapa perwakilan dari blogger dan pihak Asita NTT sedang menerima penyambutan secara simbolis

Saya tertarik melihat kain – kain tenun yang dipajang di sekitar ruangan. Konon, warga di Desa Fatumasi membuatnya dengan tangan sendiri. Warna – warnanya beragam mulai dari hijau, biru, merah, ungu  dan masih banyak warna lain. Selain kain tenun, bentuk dari homestay Lopo Mutis menarik perhatian saya. Atapnya terbuat dari rerumputan dengan dinding dari kayu. Ketika sedang asyik mengambil gambar salah satu homestay, suara Pak Mesakh memanggil kami untuk kembali masuk ke dalam mobil. Ternyata tujuan utama kami belum sampai, yaitu hutan bonsai.

Warna-warni kain tenun

Salah satu homestay di Lopo Mutis

Kami pun kembali masuk ke dalam mobil. Jalanan berbatu dan rusak kembali kami rasakan. Hingga sampai pada suatu jalanan yang cukup rusak berupa cekungan terjal, perlahan satu persatu mobil melewat jalan tersebut.  Sopir dari mobil kami nampak sibuk mengatur kopling agar pas ketika melewati jalan tersebut. Setelah menyiapkan ancang-ancang yang pas dengan satu hentakan keras saat jalanan menukik tajam kami pun berhasil melewati jalan tersebut. Deru mesin yang memburu mengantarkan kembali ke jalanan utama.

Jalanan yang cukup curam


Di samping kanan dan kiri nampak rerumputan kering dengan kuda- kuda liar yang berlari dan mencari makan. Sepertinya ini yang dimaksud oleh salah satu teman saya, Negeri di atas awan. Yang menjadi berbeda adalah warna rumput yang bukan hijau melainkan kecoklatan karena di kupang sedang mengalami musim kemarau. Kuda – kuda yang berlarian makin meyakinkan saya bahwa ini adalah bukit yang dimaksud oleh teman saya.



Saya berusaha mencocokkan gambar pada ingatan saya dengan apa yang ada di depan mata saya. Kuda – kuda liar, pepohonan perdu, hanya rumput yang menjadi pembeda. Ah akhirnya saya menginjakkan kaki di sini juga.

Kuda - kuda liar berlarian dan mencari makan

Setelah mobil menepi kami semua turun dan disambut dengan pepohonan yang cukup unik. Pak Mesakh menjelaskan bahwa ini adalah bonsai yang tumbuh hampir sama dengan yang ada di Jepang tepatnya Istana Hirohito.

Ranting daunnya menjulur saling bersentuhan dengan ranting pohon lain. Batang – batang pohonnya berlekuk – lekuk. Akar pohonnya dirambati oleh lumut. Sangat mirip dengan pohon bonsai yang biasanya dijual namun kali ini ukurannya lebih besar.

Yang membuat saya makin tertegun adalah tidak hanya satu dua buah pohon namun banyak sekali pohon bonsai yang tumbuh disana.

“ Ini satu – satunya di Indonesia dan ada lagi di jepang,” ujar Pak Mesakh di saat saya melihat pohon ini dari kejauhan.

Pepohonan bonsai

Lumut yang ada di akar pohon


Saya makin penasaran dan akhirnya berjalan mendekat mencoba menyentuh lumut yang hidup di akar – akar pohon. Saya kurang mengetahui apa jenis lumutnya yang pasti lumut tersebut terasa kasar dan cukup besar dari ukuran lumut yang biasanya saya jumpai. Ketika saya mendongak ke atas ada dedaunan yang tumbuh di rantingnya namun berbeda dengan daun yang tumbuh di pucuk ranting-ranting pohon bonsai. Kalau tidak salah Pak Mesakh berkata bahwa ada anggrek yang tumbuh di sana. Namun saya tidak menemukan satu pun bunga anggrek. Yang saya temukan adalah daun yang memang mirip dengan daun bunga anggrek yang hidup di ranting pohon bonsai. Mungkin ini belum masuk musimnya anggrek jadi belum ada satupun bunga yang mekar.

Udara di sini sangat sejuk. Saya sangat menikmati pemandangan di kaki Gunung Mutis ini. Keadaan alamnya sedikit berbeda dengan kaki gunung yang biasanya saya datangi. Ditambah dengan adanya pepohonan bonsai raksasa makin membuat saya betah berlama – lama duduk sambil mengambil gambar dari kamera saku saya.

Salah satu area di kaki Gunung Mutis yang tidak ditumbuhi pepohonan

Kalau benar ini adalah satu – satunya Hutan Bonsai di Indonesia, sungguh perjalanan saya kali ini begitu berharga. Datang disambut dengan penyambutan yang begitu meriah, diajak untuk menari bersama sampai akhirnya melihat secara langsung deretan pepohonan yang mempunyai bentuk unik, bonsai yang ukurannya sangat besar yang hanya ada di Kaki Gunung Mutis yang mirip dengan pohon bonsai di halaman salah satu istana di Jepang.

Tak lama kemudian suara Pak Mesakh kembali terdengar memanggil kami untuk kembali ke dalam mobil. Sebentar lagi matahari akan terbenam, dan kaki gunung ini akan gelap gulita. Selain itu di Homestay Lopo Mutis sudah disediakan beberapa hidangan hangat untuk kami. Dengan satu tarikan nafas panjang perlahan saya meninggalkan kaki gunung ini kembali naik ke atas mobil. Terima kasih Fatumnasi..

Bersiap kembali ke Kota Kupang

-------

Perjalanan saya kali ini tidak sendiri melainkan bersama teman - teman dari ASITA NTT dan Travel Bloggers Indonesia .

Apabila Anda berencana untuk berkunjung ke Kupang dengan menaiki Sriwijaya Air sekarang ada direct flight dari Surabaya dengan jadwal :

Surabaya – Kupang (direct flight)
Berangkat : 11.20

Kupang – Surabaya (direct flight)
Berangkat : 14.55

Kalau dari Jakarta:

Jakarta – Kupang (Via Surabaya)
Berangkat : 09.20

Kupang – Jakarta (Via Surabaya)
Berangkat : 14.55






Sumber informasi:
http://www.tourism-mpu.com/east-nusa-tenggara/id/attraction/571_fatumnasi_dan_mutis



Comments

  1. Seru sekali mbak cerita perjalananya, masih bermimpi menginjakan kaki di Tanah Kupang. Selain alam, budaya nya yang bikin jatuh cinta. Salam kenal :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai ! Terus bermimpi yaa waktu itu juga aku mimpi kesana Alhamdulillah kesampaian hehe, smangatttt :D
      Bener bangettt Tanah Indonesia bagian Timur emang bener-bener bikin jatuh cinta <3

      Terima kasih sudah berkunjung, salam kenal juga :D

      Delete
  2. Huaaaa, itu tenun ikatnya indah banget. Dari dulu pengen ke Gunung Mutis sama Rote belum kesampaian. Hiks :'(

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya bagus bangett kain tenunnya sayang belum bisa beli :((
      Semoga kesampaian kesana yaa aamiin, smangattt :D

      Delete
  3. Paling suka hutan bonsai di Fatumnasi ini. Sayang waktunya terlalu singkat untuk eksplorasi. Setelah dicek lagi hasil foto di kamera... cuma ada 1 foto hutan bonsainya T_T

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyaa pas disana bentar banget yaa padahal kalo jalan jalan di sekelilingnya pasti bakal nemu yang seru-seru...
      yahhh sayang banget cuma 1 :((

      Delete
  4. Ak, envy, Ma. Keren banget, baru tahu loh di NTT ada yang sebagus ini. Itu pepohonan bonsai kayak serem banget, Ma. Keren deh kamu :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. kamu juga kereeen hap :D haha iya aku bayangin kalo malem gimana yaa serem banget pasti tapi unik bentuknya :D

      Delete
  5. Uwaah.. Disana adat dan budayanya masih kental banget ya mbak!

    btw, itu lumutnya, aku jadi keingetan sama keset cendol dirumah ya *salahfokus

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya disana budayanya masih dijaga banget, haha iya nih gede banget yak lumutnya :D

      Delete
  6. wuih hutan bonsai nya agak horror yaa
    cocok buat syuting film hantu, heuheuheu

    ReplyDelete
    Replies
    1. haha iya gak bayangin pas malem ada yang duduk di dahannya pake baju putih-putih,hiiii :serem:

      Delete
  7. Budaya NTT msi sangat kental, apalagi du dekat kaki gunung mutis, itu penduduknya kayak msi dizaman indonesia dulu.
    Tapi yah itlah keadaan indonesia Timur, yg unik dan kadang juga bikin serem...
    Semoga yang masi mimpi kesana, suatu saat bisa sampai ke sana.
    Salam dari indonesia timur.

    ReplyDelete

Post a Comment

back to top