“ Untuk penutup kepala atau sike diibaratkan seperti batu nisan, agar manusia sadar akan kematian dan orang mati gak punya apa – apa, kita harus belajar untuk menghilangkan rasa memiliki istilah Jawa – nya Ora Keno Nduweni. ”
***
Malam itu kaki saya berjalan pelan memasuki sebuah gang kecil di sudut kota Pekalongan. Siangnya Pak Eddy, salah satu pegawai Disbudpar Jawa Tengah berkata,” Nanti malam kita lihat tari- tarian ya.” Di otak saya pun segera muncul beberapa wanita dengan pakaian khas penari Jawa menarikan tari tradisional diiringi dengan grup karawitan. Mereka menari dalam suatu tempat pementasan dengan lampu sorot yang menyoroti penari – penari tersebut, namun sepertinya bayangan saya kurang tepat . .
Gang yang kami masuki tak terlihat hingar bingar sebuah pementasan akan diselenggarakan. Di samping kanan dan kiri saya adalah deretan rumah dengan pagar yang telah terkunci rapat. Lampu yang menyala redup dengan angin semilir turut menemani tiap jengkal kaki yang saya langkahkan.
Papan keterangan sanggar multikultur |
Tiba – tiba kami sampai di sebuah rumah yang terlihat sedikit ramai. Barisan motor terparkir rapi di depan rumah tersebut. Beberapa orang lelaki menyambut kami dan mempersilahkan masuk dengan senyuman hangat. Satu diantara mereka berwajah keturunan arab dan yang lainnya berwajah khas jawa.
Suara gamelan mengalun lembut menyambut kedatangan kami. Kalau tidak salah lagu yang dimainkan yaitu Kebo Giro. Lagu yang biasanya dimainkan saat menyambut kedatangan tamu.
Suasana di dalam Joglo |
Saya teringat sekitar 5 tahun lalu saat masih berstatus sebagai anggota Ekstrakurikuler Karawitan. Saya memainkan lagu Kebo Giro tersebut untuk menyambut kedatangan seorang tamu di sekolah saya. Tiap bunyi yang terdengar di telinga seperti mesin waktu yang membawa ingatan saya memainkan Bonang Lanang dengan arahan pelatih yang telah melalang buana sampai ke Belanda bermodal kepiawaian bermain karawitan.
Suara sinden yang kali ini adalah seorang lelaki membuyarkan lamunan saya mengenang saat bermain karawitan di SMA. Suaranya yang tegas dan lantang sedikit menjadi pembeda saat sinden grup karawitan yang lain adalah seorang wanita. Akhirnya sebuah lagu tentang Batik Pekalongan dimainkan.
Sinden yang berbeda dari yang lain |
Seorang lelaki berwajah arab yang menyambut kedatangan kami tadi memecah keheningan setelah lagu tentang batik selesai dimainkan. Beliau bernama Pak Habib. Dengan wajah keturunan non pribuminya saya dibuat kagum karena bahasa Kromo-nya yang begitu lancar. Rasanya ingin menutup muka sendiri rapat-rapat karena saya yang notabene keturunan Jawa asli dan hidup lebih dari 21 tahun di lingkungan masyarakat berbahasa Jawa bisa dihitung dengan jari berapa kali berbicara lancar seperti beliau :(
Setelah memperkenalkan diri dan sedikit membahas tentang sanggar multikultur ini beliau menawarkan kepada kami,” Mau melihat tari Darwis?” Kami semua pun mengangguk setuju.
Dua orang penari Darwis |
Dua orang dengan pakaian berwarna putih dan topi yang menjulang tinggi berjalan pelan menuju bagian tengah ruangan joglo yang menjadi tempat berkumpul sanggar.
Awalnya mereka membungkukkan badan dengan tangan bersedekap di dada. Alunan musik gamelan mengiringi tarian yang diperkenalkan oleh Maulana Jalaludin Rumi sekitar 800 tahun lalu. Kemudian tangan kanan mereka diangkat ke atas sedangkan tangan kiri menangkup ke arah bawah. Tepat sesaat sebelum sinden mulai bersuara kedua penari tersebut berputar – putar berlawanan arah jarum jam namun tetap di tempat.
Sedang menari dan berputar berlawanan jarum jam |
Perpaduan suara Shalawat Nabi yang dinyanyikan oleh sinden, tabuhan gamelan, serta dua penari yang berputar seirama dengan shalawat menjadikan suasana menjadi hening. Semua teman – teman saya nampak begitu menikmati pertunjukkan yang disuguhkan.
Beberapa kali lampu blitz kamera menimpa wajah dua penari yang tengah berkonsentrasi penuh menarikan Tari Darwis. Mereka pun tampak tak terganggu dengan hal tersebut. Masih dengan tangan kanan yang diangkat ke atas dan tangan kiri yang berada sedikit di bawah posisi tangan kanan ,mereka tetap seperti itu sampai suara gamelan terakhir dinyanyikan.
Akhirnya Pak Habib menceritkan filosofi dari tarian tersebut.
“Kenapa tarian ini harus berputar? Karena semua atom dikelilingi Proton, Elektron dan Neutron, seluruhnya termasuk planet-planet kita ini seperti bumi. ( Masih ingat kan pelajaran saat SMA bahwa Elektron selalu berputar mengelilingi inti atom yang bermuatan Proton dan Neutron? )
Kenapa tangan kanan ke atas yang kiri menagkup ke bawah? Karena setiap saat kita menerima rahmat, karunia dari Allah, yang kiri senantiasa memberikan. Orang Jawa bilang Ora nduwe dewe lan koyo mengkono sampurnane maring Allah. Jadi kanan menerima kiri memberi, kita sendiri tidak punya apa-apa hanya fasilitator saja.
Kemudian kostumnya ya, kenapa kok namanya sike, penutup kepalanya tinggi? Itu menggambarkan batu nisan, agar kita senantiasa sadar kita semua akan mati dan apa ciri-cirinya orang mati? Orang mati itu gak punya apa-apa artinya Nduwe nang ora pemilikan. Artinya kita harus menghilangkan rasa memiliki, kalau orang Jawa bilang Ora Keno Nduweni.”
Terasa seperti disendokkan beberapa nutrisi ilmu keagamaan sekaligus ilmu kehidupan dari penuturan lengkap Pak Habib. Suaranya yang lembut dengan sesekali diselingi oleh tawa renyah membuat kami seperti sedang berguru pada seorang ahli ilmu.
Pak Habib |
Perjalanan yang sangat mahal harganya saya dapatkan di sebuah kota bernama Pekalongan. Karena saya percaya, Indonesia itu indah, bahkan di tiap sudut kotanya mempunyai keindahannya sendiri. Mungkin memang Pekalongan tidak mempunyai garis laut seindah Raja Ampat, tidak mempunyai alam bawah laut semenakjubkan Bunaken dan Wakatobi, tapi Pekalongan mempunyai cerita sendiri tentang hidup, tentang arti dari keberadaan kita di dunia ini dan tentang bagaimana harus bertindak sebagai makhluk yang telah mendapatkan begitu banyak rahmat dan karunia dari Sang Pencipta.
Semoga bermanfaat, dear traveler Indonesia : )
ps: beberapa foto saya ambil dari kamera ponsel saya dan hasilnya blur :(( di bawah ini ada foto penari darwis yang sedang menari di Turki
Sumber: http://zorugo.blogspot.com/2014/02/8-hal-seru-yang-harus-dicoba-di-istanbul.html |
-----
Tulisan ini dibuat dalam rangkaian perjalanan FamTrip Jateng yang diselenggarakan oleh Disbudpar Provinsi Jawa Tengah tanggal 21-24 April 2015... Tunggu cerita selanjutnya ya :D
Oh iya cek beberapa tulisan teman-teman saya yang lain ya di Famtrip kemarin :
1. Akulturasi Budaya antara Tradisi Sufi dan Gamelan Jawa : http://bit.ly/1E0Oe9h
2. Ada Pelangi di Curug Sewu Patean Kendal :) : http://bit.ly/1KyVAGm
3. Curug Sewu : http://bit.ly/1GKNCIV
4. #FAMTRIPJATENG HARI KETIGA, BALIK NING TEGAL! : http://bit.ly/1c0NevJ
5. ADUH KAMU RUGI, KALAU KE CURUG SEWU SENDIRIAN! : http://bit.ly/1GLWdOg
6. Sudah ke Curug Sewu, Kendal? : http://bit.ly/1GLWocq
7. Pekalongan Kota Kreatif Dunia : http://bit.ly/1zwP6qx